Pikiran Rakyat – Agroindustri produk fashion berbahan baku kulit buaya tengah dikembangkan Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat-Banten dengan memanfaatkan banyaknya populasi buaya air asin di kawasan hutan Blanakan, Kabupaten Subang. Selain menghasilkan produk-produk bernilai jual sangat tinggi, ini sekaligus sebagai upaya mengendalikan populasi buaya air asin di Kabupaten Subang.

Kepala Biro Bisnis Wisata dan Agribisnis Perum Perhutani, Lies Bahunta, di Bandung, Selasa (31/3/2015), mengatakan, produk-produk berbahan kulit buaya tersebut berupa tas, dompet, ikat pinggang, dll. Produksinya dilakukan dengan menggunakan kulit buaya dari jenis, Crocodylus porosus yang biasa berkeliaran di muara, khususnya di Blanakan, Kabupaten Subang.

Disebutkan, dengan dilakukannya agroindustri produk fashion berbahan baku kulit buaya, diharapkan pula menghasilkan nilai tambah dan menguntungkan dari populasi buaya yang ditangkarkan oleh Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat-Banten. Pengelolaannya menjadi lebih terintegrasi, baik pemanfaatan populasi untuk aspek wisata, juga aspek pengendalian populasi, serta pemanfaatan untuk menghasilkan produk-produk fashion.

“Kami baru mencoba-coba pasarnya saat ini, dengan melihat perbandingan segmen pasar produk-produk berbahan kulit buaya di kancah nasional dan internasional. Untuk desain, kami sudah bekeija sama dengan pihak-pihak yang selama ini diketahui memang ahlinya sehingga diharapkan produk-produk yang dihasilkan sangat menarik selera konsumen,” ujar Lies.

Disebutkan, produk-produk fashion berbahan baku kulit buaya tersebut minimal berharga Rp 400.000/buah dengan termahal Rp 40 juta/buah, baik dompet, ikat pinggang, tas kecil, tas ukuran sedang, dll. Sejauh ini, produksinya masih disesuaikan jumlah pesanan pasar dahulu, tetapi jika permintaan naik, produksinya bakal ditingkatkan.

Perum Perhutani diketahui memiliki kawasan wisata penangkaran buaya blanakan di Hutan Tegaltangkil, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. Jumlah populasi buaya muara di Blanakan tersebut kini sekitar 200 ekor, di mana pengunjung biasanya meminati bagaimana para buaya melahap makanan.

General Manager KBM Wisata dan Jasa Lingkungan I Perum Perhutani Jabar-Banten Tri Lastono mengatakan, pengembangan agroindustri fashion berbahan baku kulit buaya dinilai merupakan solusi lebih baik terkait pengendalian populasi buaya di Blanakan, Subang. Soalnya, setiap tahun, para buaya di Blanakan rata-rata menghasilkan sekitar 300 butir telur yang terpaksa dipilah agar tak semuanya menetas menjadi buaya.

“Dengan jumlah telur buaya sebanyak itu per tahunnya, jika semuanya menetas dapat dibayangkan nantinya kawasan muara di Blanakan akan dipenuhi buaya. Tak terbayang nantinya sehingga pengendalian melalui solusi yang menguntungkan secara bisnis, diharapkan mampu menjadi andalan,” ujarnya. (Kodar Solihat) ***

Sumber : Pikiran Rakyat, hal. 25
Tanggal : 1 April 2015