DETIK.COM (21/05/2021) | ..Alangkah indahnya pemandangan. Bagaikan lukisan dari tangan Tuhan. Oh, sungguh indahnya Indonesia…”
Sepenggal lirik lagu ‘Alangkah Indahnya Indonesia’ dibesut band Naif itu merefleksikan gambaran memesonanya alam raya di negara kepulauan Indonesia. Nyatanya memang aneka objek wisata bernuansa alam yang menghiasi Sabang hingga Merauke sukses menggoda mata pelancong.

Sisi lain, merebaknya virus Corona yang kini memasuki tahun kedua, mengakibatkan gerak wisatawan nusantara dan mancanegara tak lincah menyambangi area tamasya. Imbas pandemi COVID-19, yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, China, penghujung Desember 2019, telah menumbangkan aktivitas sektor pariwisata Indonesia.

Cesar Yudistira, warga Kota Cimahi, Jawa Barat, rindu bukan kepalang berwisata mendaki dan berkemah. Pria berusia 31 tahun ini terpaksa menunda hasrat bertualang lantaran target tempat tujuannya ditutup karena pandemi.

“Sekarang ini banyak pembatasan yang dilakukan pemerintah di tempat wisata, termasuk untuk camping atau hiking. Destinasi para penyuka naik gunung, semisal Semeru, Prau, atau Papandayan yang ada di Jawa Barat, beberapa di antaranya masih ditutup,” kata Cesar saat berbincang bersama detikcom, Jumat (21/5/2021).

Ia memaklumi kondisi tersebut. “Memang sih, penutupan karena faktor pandemi. Pemerintah daerah enggak mau kecolongan adanya klaster pada tempat wisata tersebut. Padahal, dengan adanya wisata naik gunung itu, dapat menggerakkan perekonomian di daerah wisata,” tutur pegawai swasta ini.

Menjalankan protokol kesehatan (prokes) secara ketat, Cesar menambahkan, sudah seharusnya dipegang teguh pengelola tempat rekreasi dan pengunjung. Pengelola pun berhak mengetahui pengunjungnya negatif atau positif terpapar COVID-19.

“Mereka yang mau dapat naik gunung, minimal harus bawa hasil tes, tentunya negatif Corona. Siapkan juga skenario, jika ada pendaki gunung positif COVID-19, pengelola menyiapkan ruang isolasi hingga mengantarkan pendaki itu ke tempat rumah sakit,” ujar Cesar yang biasanya tiga bulan sekali mendaki gunung untuk menyegarkan otak dan melepas jenuh.

Pengelola objek wisata alam di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, senantiasa memberlakukan prokes ketat untuk menangkal penyebaran COVID-19. Contohnya area wisata alam dikelola Perum Perhutani yang di antaranya Curug Cimahi, Curug Layung, Geger Bintang Matahari (Gunung Putri), dan Pal 16.

“Kami tentu selalu mengikuti syarat dan aturan berlaku berkaitan prokes di tempat wisata. Keselamatan pengunjung menjadi prioritas utama,” kata Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lembang Susanto.

Selain itu, Susanto menuturkan, pihaknya berkoordinasi dengan Satgas COVID-19 tingkat kecamatan dan Pemkab Bandung Barat terkait disiplin prokes di area rekreasi. “Satgas COVID-19 selalu mengawasi. Alhamdulillah, kami tak pernah melanggar prokes,” ucap Susanto.

Di Jawa Barat, pengambil kebijakan pariwisata beringsut cepat memulihkan keterpurukan. Bergulirnya masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) melecut semangat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat menggaet komponen kepariwisataan untuk bangkit melawan dan menekan penyebaran COVID-19.

Kadisparbud Jawa Barat Dedi Taufik mewanti-wanti pengelola objek wisata dan wisatawan wajib mematuhi prokes serta menerapkan perilaku 3M atau Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Dia menegaskan, pada masa pandemi ini, masyarakat, pelaku industri wisata, dan pengunjung harus berkomitmen disiplin prokes.

“Kita berkolaborasi. Kalau kita abai prokes, sektor pariwisata pasti terpuruk kembali. Maka itu, terapkan 3M,” ucap Kadisparbud Jawa Barat Dedi Taufik kepada detikcom.

Dedi memiliki strategi dalam mengawal eksistensi bidang pariwisata di Jawa Barat selagi AKB. Ada lima pilar yang menjadi jurusnya.

Pilar pertama yakni kekuatan budaya. Menurut Dedi, budaya ini menjadi kekuatan pariwisata. Selain itu, kata dia, Jawa Barat terbagi tiga zona yakni Sunda-Betawi, Priangan Timur dan Kacirebonan. “Kita lihat di Jawa Barat, untuk target wisatawan di masa pemulihan ekonomi di sektor pariwisata, fokusnya kunjungan wisatawan lokal atau nusantara. Nah pilar budaya ini yang menjadi kekuatan,” tutur Dedi.

Pilar kedua yaitu sumber daya manusia (SDM). Dedi menjelaskan, SDM internal dan eksternal bisa menyelaraskan AKB di masa pandemi. “Pilar ketiga adalah destinasi alam. Ini destinasi yang berorientasi alam. Keempatnya industri lokal, yakni ekonomi kreatif berupa film, kriya, fesyen dan kuliner. Pilar kelima ialah pemasaran lokal,” kata Dedi.

Disparbud mendata ada 108 wisata unggulan di Jawa Barat. Pihaknya menegaskan semua tempat wisata di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat maksimal 50 persen dari kapasitas total pengunjung. Keputusan itu telah disepakati bersama oleh semua dinas pariwisata di kabupaten dan kota di Jabar.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat jumlah kunjungan wisatawan nusantara menyusut pada 2020. Anjloknya jumlah wisatawan nusantara di berbagai destinasi lokasi itu gegara dampak pandemi. Awalnya diprediksi jumlah wisatawan nusantara mencapai 310 juta orang, namun faktanya angka menurun 61 persen atau mencapai 120 hingga 140 juta orang.

Sedangkan di Jawa Barat, jumlah kunjungan wisatawan nusantara pada 2019 mencapai 62 juta dan wisatawan mancanegara 2,2 juta. Kemudian, tahun 2020 (Januari hingga Maret), mengingat pandemi COVID-19, Disparbud Jawa Barat menurunkan target kunjungan wisatawan nusantara menjadi 30 juta dan wisatawan mancanegara 30 ribu. “Di tahun 2020 itu melebihi target, wisatawan nusantara 35 juta dan wisatawan mancanegara 30 ribu lebih,” tutur Dedi.

Pemerintah mengizinkan area piknik kembali buka akses secara bertahap. Ikhtiar meningkatkan jumlah wisatawan terus digelorakan. Bersamaan hal tersebut, Kemenparekraf membuat panduan prokes bertajuk Clean, Health, Safety, Environment (CHSE).

Prokes tersebut berlaku untuk hotel, ekonomi kreatif, restoran, destinasi wisata dan semua yang berhubungan dengan sektor wisata. Pihak Kemenparekraf memberikan sertifikasi bila usaha pariwisata lulus sesuai kriteria.

SNI Pengelolaan Pariwisata Alam

Sekadar diketahui, pada 2019, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8013:2014 Pengelolaan Pariwisata Alam. SNI tersebut menetapkan prinsip, kriteria dan indikator pengelolaan pariwisata alam sebagai panduan pengelolaan pariwisata alam di kawasan hutan atau kawasan lainnya yang dikelola dengan prinsip-prinsip pariwisata alam.

“Kehadiran SNI 8013:2014 lebih mewarnai bagaimana kita mengelola pariwisata yang mengedepankan unsur-unsur konservasi dan ramah lingkungan. Kami harap SNI ini dapat diterapkan oleh kita semua sebagai pedoman untuk pengelolaan pariwisata alam secara lestari,” tutur Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN Zakiyah sebagaimana dikutip dari laman bsn.go.id.

BSN berkontribusi menggeliatkan kembali kunjungan wisatawan di Indonesia di tengah pandemi. Pihaknya mengingatkan pengelola tempat wisata alam untuk mengutamakan prokes dan memenuhi standar persyaratan demi perlindungan kepada para pengunjung.

Selain itu, BSN mendorong pengelolaan pariwisata alam mematuhi prinsip kesinambungan serta manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat.

Mengapa perlu ada standar pengelolaan pariwisata alam? BSN merinci empat poin. Poin pertama, memfasilitasi pengelola pariwisata untuk memproses pengelolaan pariwisata yang ideal. Kedua, memfasilitasi pengelola pariwisata untuk mengembangkan dan menerapkan standar pariwisata. Poin tiga, sebagai alat untuk evaluasi sejauh mana pengelolaan wisata yang sudah dilaksanakannya telah memenuhi standar pengelolaan pariwisata alam. Keempat, sebagai acuan dalam mengelola pariwisata untuk keberlanjutan dan ramah lingkungan.

Ada sejumlah tahap menerapkan SNI 8013:2014. Pengelola wisata akan mengikuti pelatihan, pengembangan sistem, mengulas implementasi melalui kegiatan audit internal dan tinjauan manajemen.

“Bila sudah sesuai dengan SNI, tentu pengelola perlu mensertifikasi sebagai bukti bahwa pariwisata yang dikelola telah memenuhi SNI,” ujar Direktur Penguatan Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN Heru Suseno sebagaimana ditukil detikcom dari situs resmi bsn.go.id.

Naik Kelas

Kawasan wisata alam tersebar di Jawa Barat. Lokasinya antara lain kawasan wisata Curug Cilember di Bogor, kawasan wisata Ciwidey di Kabupaten Bandung, kawasan wisata Cikole di Kabupaten Bandung Barat. Tiga wisata alam tersebut dikelola Perhutani.

BSN gencar sosialisasikan SNI 8013:2014 Pengelolaan Pariwisata Alam. SNI ini menerapkan prinsip kepuasan, keselamatan, dan kenyamanan pengunjung.

Kepala Kantor Layanan Teknis (KLT) BSN Jabar Hardiles menjelaskan pihaknya terus menjalin koordinasi dengan Disparbud Jawa Barat berkaitan SNI 8013:2014. “Tugas kita mencari objek wisata alam untuk menerapkan SNI ini. Kita terus sosialisasi. Selain itu, kita sudah melakukan pendekatan dengan Disparbud Jabar,” ujar Hardiles kepada detikcom di kantor KLT BSN Jabar, Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Kota Bandung.

Menurutnya, pariwisata alam di Jawa Barat begitu banyak, sehingga BSN bisa akselerasi lebih dalam berkaitan penerapan SNI 8013:2014. Sejauh ini, Hardiles menjelaskan, pihaknya masih mendata objek wisata alam di Jabar yang berpotensi menyandang SNI.

“Peran kita mendorong pelaku usaha pengelola pariwisata menerapkan SNI. Pengelola wisata alam bisa mendaftarkan melalui website BSN Lembaga Sertifikasi (LS)/Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK),” ucapnya.

Menurut Hardiles, LS/LPK yang dapat mengeluarkan sertifikat kesesuaian adalah lembaga yang terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) sesuai dengan persyaratan tertera pada SNI ISO/IEC 17065 terkait Penilaian Kesesuaian-Persyaratan untuk Lembaga Sertifikasi Produk, Proses, dan Jasa serta menjalankan skema sertifikasi yang diterbitkan BSN. Pengelola wisata alam bisa mendapatkan pembinaan dan pendampingan melalui pembimbingansni.bsn.go.id.

“Kemudian akan ditindaklanjuti oleh BSN atau Kantor Layanan Teknis terdekat dengan pengelola pariwisata,” kata Hardiles.

Pengelolaan objek wisata alam yang memenuhi SNI direspons positif Kadisparbud Jawa Barat Dedi Taufik. Menurutnya, label standardisasi yang dimiliki pengelola objek wisata merupakan suatu kebanggaan.

“Label sertifikasi perlu. Setelah ada sertifikasi kan ‘naik kelas’, ya standar nasional. Setelah di-SNI-kan, itu berarti sudah punya label sesuai standardisasi dan branding-nya jelas,” tutur Dedi.

Soal pentingnya SNI disampaikan juga oleh pengelola wisata alam kawasan Lembang yang berada di bawah naungan Perum Perhutani. “Sangat penting sekali (SNI 8013:2014). Adanya sertifikat SNI semakin membuat pengelola wisata meningkatkan pelayanan kepada pengunjung. Kalau nanti kita pampang SNI itu, wisatawan nusantara dan turis juga lebih percaya diri datang ke tempat kami,” ujar Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lembang Susanto saat dihubungi detikcom via telepon.

Susanto menjelaskan ada empat objek wisata alam di lingkup wilayah kerjanya yang disiapkan menerapkan SNI 8013:2014. Masing-masing Curug Cimahi, Curug Layung, Geger Bintang Matahari (Gunung Putri), dan Pal 16. Sebelumnya, kata Susanto, empat objek wisata alam tersebut menyemat brand ‘Canopy’ yang diluncurkan Perhutani. ‘Canopy’ merupakan identitas yang akan menaungi berbagai wisata alam Perhutani dengan jaminan standar produk, pelayanan dan pengelolaan yang profesional dan berkualitas.

Saat ini, menurut Susanto, empat objek wisata alam yang menjadi favorit wisatawan itu tengah menggapai label SNI 8013:2014. “Empat lokasi wisata itu masih tahap pemantauan BSN. Sekarang tinggal menyelesaikan administrasi dan update perizinan. Sekarang kan brand ‘Canopy’, nanti SNI, jadi istilahnya naik peringkat,” ucap Susanto.

Selangkah lagi ber-SNI, Susanto mengatakan, empat area wisata alam yang semula wisata rintisan itu akan berkategori wanawisata. “Kalau semuanya sudah standardisasi, otomatis naik grade menjadi wanawisata. Targetnya tahun ini. Apa yang kami lakukan demi pengunjung. Faktor kenyamanan, keamanan dan keselamatan untuk pengunjung itu nomor satu,” tutur Susanto menegaskan.