KOMPAS, Bandung — Dari potensi tanaman sagu sekitar 150.000 hektar di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, baru 3-5 persen yang termanfaatkan. Sebagian besar terbuang secara alami karena saat masa tebang dan kandungan saripati tinggi, pohon sagu itu tidak dipanen.

Demikian dikatakan pimpinan proyek industri sagu Papua Barat Perum Perhutani, Ronald G Suitela, Sabtu (26/10) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Industri sagu senilai Rp 120 miliar di Distrik Kais, Sorong Selatan, itu akan memanfaatkan sekitar 15.000 hektar tanaman sagu. Dalam 1 hektar hutan sagu rata-rata terdapat 40 pohon sagu produktif. Satu pohon sagu paling sedikit menghasilkan 100 kilogram pati sagu.

”Jika pada saat saripati tinggi tidak dipanen, kandungan itu akan berubah dan terbuang percuma,” ujar Ronald.

Terkait pembangunan industri sagu itu, Ronald mengajak Wakil Bupati Sorong Selatan Syamsudin Anggiluli untuk mempelajari pola Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rahayu Tani di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jumat (18/10).

Menurut Ronald, sebelum pabrik dibangun, pengelola pabrik harus membangun konstruksi sosial dengan membentuk LMDH. Ini untuk meminimalisasi masalah sosial yang mungkin terjadi dengan adanya pabrik dan pengelolaan hutan negara oleh Perhutani. Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang sukses dilaksanakan di Jawa juga perlu diterapkan di Sorong Selatan.

Syamsudin berharap, pengurus LMDH Bosiro, Sorong Selatan, yang turut serta dalam studi banding itu dapat menimba pengalaman LMDH Rahayu Tani. Rahayu Tani dinilai sukses mengembangkan kopi dalam kawasan hutan Perhutani dengan sistem PHBM.

Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan Yusuf Momot mengatakan, potensi sumber daya alam dalam kawasan hutan di Sorong Selatan besar, tetapi belum dikembangkan secara maksimal. Padahal, 90 persen warga Papua tinggal di dalam dan sekitar hutan, dan miskin. Pembangunan pabrik sagu itu diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. (dmu)

Kompas | 28 Oktober 2013 | Hal. 23