JAKARTA – Perum Perhutani bertekad terus menggenjot pendapatan dari bisnis nonkayu. Tahun ini perusahaan pelat merah itu menargetkan sumbangan dari bisnis nonkayu sebesar 55% dari total pendapatan dan 45% disumbang oleh bisnis kayu. Langkah itu dilakukan untuk mencapai target pendapatan pada 2014 sebesar Rp 4,6 triliun dengan target laba Rp 287 miliar atau naik 40% dari 2013.
Dirut Perum Perhutani Bambang Sukmananto mengatakan, kontribusi bisnis nonkayu terus meningkat. Pada 2009, bisnis nonkayu baru memberi kontribusi sebesar 37% dan kayu sekitar 63%. Kontribusi bisnis nonkayu terus meningkat menjadi 48% pada 2010 dan kayu 52%.
Tahun ini, kontribusi bisnis nonkayu ditargetkan meningkat jadi 55% dan kayu 45%. “Pengalihan bisnis dari kayu ke nonkayu dimaksudkan untuk menghemat kayu dan menjaga kelestarian hutan di Jawa. Kami terus mengupayakan bisnis nonkayu lebih besar sehingga tegakan tetap ada, tetapi hasilnya bisa lebih besar,” ujar dia saat jumpa pers kinerja Perhutani di Jakarta, Rabu ( 5/3).
Selama ini, bisnis sektor hulu Perhutani bertumpu pada hasil hutan kayu serta getah pinus dan industrinya. Bisa dikatakan, tahun 2013-2014 adalah era penataan bisnis Perhutani. Bambang menjelaskan, salah satu bisnis nonkayu yang menjadi andalan adalah pabrik derivatif gondorukem terpentin di Pemalang berkapasitas 24 ribu ton per tahun.
Saat ini, kapasitas terpakai baru 70% dan ditargetkan beroperasi penuh pada Mei 2014. “Kami berharap ini yang akan mengangkat pendapatan,” tuturnya. Selama ini, industri gondorukem menyumbang pendapatan kedua terbesar setelah kayu bulat (log). Saat ini, Perhutani adalah penghasil gondorukem terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Gondorukem, yang merupakan produk olahan getah pinus, adalah bahan utama untuk industri minyak, cat, tinta printer, dan industri lainnya. Menurut dia, selama ini Indonesia mengekspor gondorukem dalam bentuk mentah dan industri dalam negeri mengimpornya dalam bentuk produk jadi.
Bambang mengklaim, produk derivatif Perhutani unik karena dihasilkan dari pinus merkusii, yang kandungannya berbeda dengan jenis pinus lainnya. Produk tersebut diekspor ke Eropa, Tiongkok, dan Jepang.
Selain itu, untuk meningkatkan pendapatan bisnis nonkayu, perseroan melakukan revitalisasi organisasi dengan memisahkan antara pengelolaan bisnis dan hutan. Pihaknya juga mengoptimalisasi kawasan wisata yang dikelola Perhutani dan agro forestry, misalnya agrowisata kopi di Jawa Barat. Perhutani juga berniat mengoptimalisasi aset-asetnya.
“Kami akan meniru KAI. Aset kami cukup strategis, khususnya di kota-kota besar,” tutur Bambang. Dalam kesempatan itu, Bambang memaparkan, berdasarkan hasil audit laporan keuangan tahun buku 2013, Perhutani meraih pendapatan Rp 3,9 triliun (100%) dan laba bersih Rp 204 miliar (105% dibanding pencapaian 2012).
Pendapatan itu sebesar 48% diperoleh dari kelompok usaha kayu dan 52% dari nonkayu. Penyumbang terbesar berasal dari ekspor bisnis nonkayu Rp 1,3 triliun (137%). Sedangkan penjualan dalam negeri hasil hutan lainnya Rp 617 miliar dan dari kayu tebangan Rp 1,6 triliun (116%). Realisasi laba 2013 Lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Laba Perhutani pada 2012 sebesar Rp 197 miliar, 2011 Rp 148 miliar, 2010 Rp 156 miliar, dan 2009 Rp 158 miliar. Pihaknya tetap optimistis di tengah kondisi krisis di sejumlah negara. Sebab, banyak negara lainnya, seperti Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok yang tetap tumbuh.
Sementara itu, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perhutani Heru Siswanto menjelaskan, pihaknya juga turut mendukung ketahanan pangan nasional, yaitu dengan memberikan akses bagi masyarakat untuk menanam tanaman pangan di lahan Perhutani.
Hingga saat ini, BUMN tersebut mengelola tanaman pangan seluas 80 ribu hektare (ha) dan berkontribusi 657.559 ton per tahun, berupa padi, jagung, kedelai, dan sebagainya. Produktivitas padi di lahan Perhutani mencapai 4 ton per ha.
“Ini juga amanat Kementerian BUMN agar kami mendukung pangan melalui GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi),” jelas Heru. Luas lahan pangan Perhutani terus meningkat. Pada 2013 luasnya 116 ribu ha untuk padi, jagung, dan kedelai. Tahun ini luasnya ditargetkan 120 ribu ha dengan jenis komoditas yang sama.
Bidang tersebut juga menyerap tenaga kerja sebanyak 2,3 juta orang. Bambang menambahkan, bidang pangan bukan menjadi usaha inti karena terbatasnya kawasan hutan. Saat ini, penanaman komoditas pangan dilakukan di sela tanaman hutan.
Sayangnya, petani hutan kurang perhatian pemerintah padahal potensinya cukup besar dalam mendukung ketahanan pangan dalam negeri.
Sumber  :  Investor Daily
Tanggal  :  6  Maret 2014