Okezone, Bogor – Ruangan sederhana dengan kursi besi di ruang pantau Bendung Katulampa, Bogor, Senin (20/1) kemarin menjadi saksi guyubnya para kepala daerah yang wilayahnya terlimpas banjir.
Entah langkah apa yang bakal diambil untuk mengurangi dampak banjir yang kali ini datang karena air hujan melebat. Lantaran masyarakat hulu Cisadane, Ciliwung, hingga pinggiran kali-kali ibu kota sudah terlanjur ‘tenggelam’ dengan rutinitas air kiriman.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto sejatinya baru kali ini berbincang bareng tentang polemik banjir.
Bagi warga yang berdomisili di daerah yang mereka pimpin, pertemuan itu terlihat bias. Apakah memang merapat untuk bergerak menyelesaikan banjir dengan cara permanen, ataukah ada kesepakatan menetralkan kondisi warga dengan model blusukan ala Orde Baru.
Pertemuan itu dihadiri pula oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto, Bupati Bogor Rachmat Yasin, Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu, Bupati Bekasi Rohim Mintareja, Wakil Wali Kota Depok Idris Abdul Shomad, Kepala Balai Besar Wilayah Ciliwung Cisadane Iskandar, perwakilan dari Pemprov Banten, Dirjen Sumber Daya Alam Kementerian PU, serta Dirut Perhutani.
Ahmad Heryawan saat itu menyatakan, persoalan banjir Jakarta harus dibicarakan secara intensif dan tuntas, tidak hanya sekadar saat musim banjir tiba. Jokowi juga menjelaskan pada media bahwa ada dua agenda yang dibahas dalam rapat koordinasi tersebut.
Pertama, rencana pembangunan sodetan antara Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Kedua, rencana pembangunan Waduk Ciawi sebagai tempat penampung air. Proyek tersebut memang sudah lama direncanakan, tetapi belum juga direalisasikan oleh Kementerian PU.
Nah, jadi para petinggi masyarakat selama ini rupanya masih sibuk dengan urusan masing-masing. Rencana tinggal menjadi harapan belaka. Keberadaan Badan Kerja Sama Antarprovinsi (BKSP) nyatanya belum efektif membuat semua pihak untuk bergerak mewujudkan rencana. Padahal lembaga ini terbentuk agar mampu menyelesaikan persoalan Jakarta dan sekitarnya, seperti banjir dan kemacetan. Kenyataannya, belum ada hasil signifikan setelah selama lebih dari tiga dekade terbentuk.
BKSP terdiri dari Pemprov DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Lembaga ini diketuai gubernur secara bergiliran dan dijalankan kepala sekretariat eselon II-B. Tak dinyana, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama justru menilai, mereka yang duduk dalam BKSP seharusnya memiliki kewenangan lebih. Saking sebalnya, Ahok menilai mereka yang duduk di lembaga tadi merasa menjadi orang buangan. Ia pun ceplas ceplos menginginkan persoalan antarwilayah diselesaikan dengan membentuk panitia sementara yang dikoordinasi Menteri Pekerjaan Umum.
Bahkan dia mengusulkan agar badan seperti ini ditiadakan saja. Sebab, selain memboroskan anggaran, badan ini juga tidak efektif menyelesaikan persoalan besar Jakarta dan sekitarnya. Pada perjalanannya, BKSP juga tidak mampu menjawab persoalan sektoral di setiap wilayah. Buktinya, pemerintah daerah yang tergabung dalam lembaga itu belum satu visi, terutama dalam penanganan banjir.
Di sisi lain Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Mohammad Hasan mengatakan, kerja sama antara Kementerian Pekerjaan Umum langsung dan daerah tertentu, seperti DKI, cukup membuahkan hasil. Kerja sama seperti pembagian tugas dalam normalisasi sungai, pihaknya menjalankan proyek fisik dan DKI membebaskan lahan, berjalan cukup lancar.
DKI juga dianggap proaktif menjalankan tugasnya, seperti perbaikan waduk. Akan tetapi, nasib situ/waduk di daerah lain hingga kini masih mengenaskan. Masalah ini menjadi perhatian PU, meskipun kementerian ini susah berbuat banyak karena revitalisasi waduk berada di tangan pemerintah daerah.
Jadi, integrasi seperti apa yang ideal buat para pemegang kekuasaan di daerah? Jokowi saking kewalahannya sampai menegaskan, penanggulangan banjir bukan hanya tanggung jawab Pemprov DKI tapi juga pemerintah pusat.
Media Darling ini bukan sekadar curhat, tapi ia realistis karena langkah integrasi antardaerah itu sama dengan menangani 13 sungai besar maupun sungai kecil dan 884 saluran kecil penghubung. Sedangkan Jakarta adalah daerah terdampak banjir. Sehingga hal yang ia fokuskan terbatas pada pengerukan waduk maupun sungai dengan menggunakan alat berat yang dikerahkan. “Peran masyarakat juga dibutuhkan seperti tidak buang sampah sembarangan, tanpa peran masyarakat maka menjadi percuma,” kata dia.
Air kiriman dari daerah lain seperti Bogor juga membuat Jokowi berpesan pada warga yang di wilayah tersebut agar tak menebang pohon sembarangan. Upaya merobohkan villa di kawasan Puncak, Bogor pun ia apresiasi karena kini mulai diubah menjadi ruang-ruang hijau dan serapan air.
Kini, kepekaan pada kondisi alur alam dan penderitaan warga tinggal bertumpu pada sang penguasa tertinggi negara. Maukah ia membuka simpul-simpul birokrasi untuk meluweskan gerakan membangun penyokong infrastruktur penanggulangan banjir?
Sempat terlintas wacana pembentukan kementerian yang khusus mengurusi tata ruang wilayah yang rumit seperti megapolitan medio 2008 lalu. Problemnya membelit di area anggaran karena melibatkan sharing pengaturan anggaran pembangunan yang melibatkan dua daerah setingkat provinsi.
Selain perkara anggaran, pelaksanaan kerjasama antar daerah kerap terganjal masalah politis. Lantaran fungsi Badan Kerjasama Provinsi yang dibentuk untuk pelaksanaan megapolitan cenderung lemah dalam penegakan sanksi.
Jadi, mestinya yang dibutuhkan saat ini dan paling taktis adalah seorang pemimpin negara yang tak hanya ongkang-ongkang kaki setelah merilis bukunya. Atau sekadar turun saat banjir sudah sampai tinggi dada rakyatnya. Yang terpenting lagi, ia seorang yang berani menindak kepala daerah yang bandel tak melaksanakan pembangunan sesuai konsep megapolitan.
Jurnalis : Muhammad Saifullah
Okezone | 21 Januari 2014 | 14.05 WIB