TRIBUNNEWS.COM (29/04/2019) | Ribuan petani di Kabupaten Blitar, khususnya yang tinggal di tepi hutan, sebentar lagi bakal tersenyum lebar.

Sebab, semula mereka yang hanya jadi penonton atau sekadar buruh tani, kini bakal memiliki lahan garapan sendiri.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana akan memberi lahan hutan, untuk dijadikan lahan garapan. Tak tanggung-tanggung, luasnya sekitar 19.000 hektare (Ha). Itu tersebar di beberapa kecamatan.

Yang membuat petani lebih senang, lahan garapan itu bisa ‘dikuasai’ selama 35 tahun atau sesuai SK yang diberikan kementerian itu kepada petani.

Namun, mereka juga harus patuh dengan beberapa ketentuan, misalnya, tidak boleh menanam sembarang jenis tanaman dan ada ketentuan sharing profit sesuai kesepakatan.

“Kalau ada kabar seperti itu, kami para petani ini senang mas. Memang, harapan kami, seperti itu, supaya lahan garapan sendiri,” ujar Romadon (46), petani asal Desa Rejoso, Kecamatan Binangun ditemui di kantor KPH Blitar, Senin (29/4/2019) siang.

Senin itu, memang ada Mou antara kementerian LHK dengan Perhutani Blitar, para kades, dan beberapa kelompok tani, yang tergabung di Lembaga Masyarakat Dalam Hutan (LMDH).

Pada MoU itu, intinya, masyarakat yang tinggal di tepi hutan, bakal dapat bagian lahan garapan seiring program pemerintah yang akan membagikan lahan hutan di Kabupaten Blitar seluas 19.000 ha.

Itu tersebar di beberapa kecamatan di antaranya, Kecamatan Binangun, Bakung, Doko, Gandusari, Panggungrejo, Kesamben, Selorejo.

Rencananya, per orang atau KK akan dapat jatah lahan garapan seluas 1 Ha dan maksimal 2 ha.

“Mou tadi itu sekaligus penguatan agar warga mendapatkan SK atas lahan garapan tersebut. SK itu buat pegangan bagi mereka yang mendapat lahan garapan,” kata Sarman, wakil Adm Perhutani Blitar.

Agar ada tanggung jawab dari para penggarap, papar Sarman, tak serta merta dibebaskan, melainkan ada beberapa kriterianya.

Di antaranya, itu tak boleh ditanami dengan tanaman bebas. Sekitar 50 persen dari luasan lahan jatah garapan harus ditanami kayu.

Misalnya jenis kayu Sengon, Mahoni, dll. Dan, sekitar 30 persen harus ditanami jenis buah-buahan, miisalnya pisang, nanas, mangga, dll. Untuk yang 20 persen, itu bisa ditanami seperti palawija, seperti jagung, kacang, ketela, dll.

Tentunya, itu juga ditentukan sharing profitnya. Yakni, jika kayu, maka bagi hasilnya 70 buat petani sendiri dan 30 persen buat Perhutani.

Sedang, kalau buah-buahan adalah 80 persen buat petani dan 20 persen buat perhutani. Untuk palawija, adalah 90 persen buat petani dan 10 persen buat perhutani.

“Ya, para petani pasti akan lebih senang karena lebih transparan. Sebab, itu sudah ditentutan sesuai SK yang diterima petani,” ujar Wawan Aprilianto, Kades Rejoso.

Untuk realisasinya, tambah Sarman, SK itu akan diberikan langsung oleh Presiden Jokowi.

Namun demikian, mulai saat ini warga sudah diperbolehkan menggarap sesuai jatahnya masing-masing. Untuk pembagian lahannya, itu diserahkan pada LMDH, agar dibagikan ke anggotanya masing-masing dengan ketentuan per orang maksimal 2 Ha.

Terus, bagaimana, misalnya, jika ada yang dapat jatah lebih dari 2 Ha per orang, Sarman mengatakan, itu tak akan bisa karena ada tim verifikasi yang akan mengeceknya.

Ribuan petani di Kabupaten Blitar, khususnya yang tinggal di tepi hutan, sebentar lagi bakal tersenyum lebar.

Sebab, semula mereka yang hanya jadi penonton atau sekadar buruh tani, kini bakal memiliki lahan garapan sendiri.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana akan memberi lahan hutan, untuk dijadikan lahan garapan. Tak tanggung-tanggung, luasnya sekitar 19.000 hektare (Ha). Itu tersebar di beberapa kecamatan.

 
Sumber : tribunnews.com
Tanggal : 29 April 2019